Ketika ku mematung menghadap cermin, aku bertekad, "Pokoknya hadapi saja apa yang
Allah rencanakan. Balaslah air tuba dengan air susu. Mudah-mudahan semua berjalan baik. Amin."
Ya, aku selalu berharap semua akan berjalan baik. Aku bertekad tak kan membenci siapapun. Meskipun salah seorang teman sekelasku membenci si X (contoh), yang notabene masih teman sekelas, aku tidak peduli. Masa aku harus ikut-ikutan benci padanya? Maaf saja, itu bukan urusanku. Meskipun temanku bilang "ah kamu gak solider", terserah, aku tak mau ikut campur, Karena berpikir untuk apa membenci seseorang, membuang waktu dan energi saja. Selama tindakannya masih bisa aku tolelir, aku rasa lebih baik membaiki dia. Balas air tuba dengan air susu, tak perlu air tuba dengan air tuba. Toh, mungkin dengan membalas apa yang diperbuatnya dengan kebaikan, dia juga bisa menghargai kita.
Tapi tekadku untuk tidak menyukai atau kata bahasa kasarnya "membenci" seseorang karena perilakunya, kini kandas sudah. Kenapa dia harus hadir lagi? Kenapa dia harus ada saat aku sedang berbenah diri menjadi sosok yang lebih baik? Aku hanya bisa menunduk sambil memegang kepala saat dia ditegur dan dimarahi guru habis-habisan di depan semua orang yang ada di kelas. Kenapa harus dia lagi yang jadi provokator pencetak citra jelek? Aku betul-betul kecewa. Sebagai teman satu almamater, aku juga malu. Kenapa sih dia gak pernah mau berubah? Apa dia gak berpikir, orang tua sudah susah payah membesarkannya, menyekolahkannya tinggi-tinggi sampai berhutang pinjam ke sana ke mari demi anaknya bisa menjadi generasi penerus keluarga. Tapi apa yang dia perbuat, hanya membuat onar, pencetak citra buruk, meresahkan semua orang dan jadi sampah masyarakat. Kapan kau mau sadar? Sadar...! Sadar...! Sadar...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar